Harus Cemburukah Kita Kepada Julaibib ?
saya akan berbagi sebuah cerita mengenai kisah Julaibib, orang yang dicintai Allah dan Rasulullah
JULAIBIB, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia terbayang orang yang kerdil dan rendahan.
Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap.
Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orang tuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak kenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatstrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat kemasayarakatan yang tak terampunkan.
Julaibib yang tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak pernah beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidursembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil.Tak punya perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak.
Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, "Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal mengerikan padanya!"
Demikianlah Julaibib. Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satupun makhluk dapat menghalangi. Julaibib berbinar menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang Rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam.
" Ya Julaibib", begitu lembut beliau memanggil,
"Tidakkah engkau menikah?"
"Siapakah orangnya Ya Rasulullah", kata Julaibib
"Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?" Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum.
Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang takada orang tua yang berkenan pada Julaibib.
Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. "Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?" dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibbib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar.
"Aku ingin", kata Raulullah pada si empunya rumah, "Menikahkan puteri kalian."
"Betapa indahnya dan betapa berkahnya", begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon mertuanya.
"Ooh... Ya Rasulullah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan tamaran dari rumah kami.'
"Tetapi bukan untukku", kata Rasulullah.
"Kupinang putri kalian untuk Julaibib."
"Julaibib?", nyaris terpekik ayah sang gadis.
"Ya. Untuk Julaibib."
"Ya Rasulullah", terdengar helaan nafas berat.
"Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.'
"Dengan Julaibib?", isterinya bereru.
"Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikan dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak berbagai lamaran....."
Pedebatan tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata angun.
"Siapakah yang meminta?" Sang Ayah dan Sang Ibu menjelaskan.
"Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku."
Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini "Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rosulnyamaka sungguhlahdia telah sesat, sesat yang nyata" (QS. Al Ahzab [33]:36)
Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah "Allahumma shubba 'alaihima khairan shabban.. Wa la taj'al 'aisyahuma kaddan kadda... Ya Allah. limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermaslah.."
Doa yang indah.
Sungguh kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seprti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik kateaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, menaatai Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali keridaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.
Doa yang indah.
Sungguh kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seprti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik kateaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, menaatai Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali keridaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.
Isteri
Julaibib menunjukkan cintanya di mihrab
taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya. Memang pasti, ada
batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampau. Tapi jika kita
telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas
kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib
telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah
berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga.
“Ya
Allah”, lirih Sang Nabi, “Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan
yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermaslah.."
Alangkah
agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita
bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang
diluar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang
gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun
itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.
Tetapi
bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya dalam dirinya. Ada tekanan-tekanan
yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak
mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan membukakan jalan keluar jika
ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubrid. Ia yakin
bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang menaatiNya.
Maka
benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi
semuanya. Maka kebersamaan di dunia sang isteri shalihah dan bertaqwa , tapi
bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit
meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang
bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya. Adapun isterinya, kata Anas ibn
Malik, tak satupun wanita Madinah yang shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak
para lelaki utama meminangnya.
Saat
Julaibib syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan
sesuatu kepada para sahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di akhir pertempuran, “Apakah
kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak
Ya Rasulullah!”, serempak sekali.
Sepertinya
Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah
kalian kehilangan seseorang?”, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya
lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.
“Tidak
Ya Rasulullah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi.
Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri. Rasulullah menghela nafasnya.
“Tetapi
aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para
sahabat tersadar. “Carilah Julaibib!”
Maka
ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan uka-luka, semua dari
arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.
Sang
Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menshalatkannya secara pribadi.ketika kuburnya digali, Rasulullah
duduk dan memangku jasad Julaibib, mengalasinya dengan kedualengan beliau yang
mulia. Bahkan pula beliau ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat
itulah, kalimat Sang Nabi untuk si mayyit akan membuat iri semua makhluk hingga
hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah
bagian dari dirinya.”
Ya.
Pada kalimat itu, tidakkah kita cemburu?
Sumber
oleh Salim A. Fillah